#3 Jadi Baiknya Gimana?
Ngobrol bareng Tika tentang kasus Gofar dan pengaruhnya terhadap komunitas musik, bahasan dokumenter GOR Saparua, juga list-list musik baru yang ca'em.
Anak-anak band, media musik lokal dan (((pegiat skena))) biasanya paling cepat kasih komentar (baik itu yang positif atau yang negatif) di media sosial terhadap isu yang merebak di Internet.
Tapi minggu lalu pas kasus Gofar Hilman meledak, (mayoritas, tidak semua) orang-orang di lingkaran musik yang biasanya cepat bereaksi, kayaknya malah diem-diem saja di media sosial. Padahal Gofar dekat sekali dengan lingkaran ini. Nampaknya lebih banyak yang misuh-misuh di grup Whatsapp dan DM media sosial.
Di hari itu, selain statement yang tegas dan jelas dari Lawless, pernyataan yang hadir juga dalam kurun waktu kurang dari 24 jam datang dari musisi dan aktivis Kartika Jahja. Di edisi 1 SFTC bikin opini singkat tentang cancel culture, tepat satu minggu sebelum kasus Gofar Hilman terjadi. Untuk segmen wawancara, kami ngobrol dengan Tika untuk berbincang lebih jauh seputar sudut pandang dia terhadap masalah ini.
Di segmen catatan editor, kami menulis tentang rilisnya dokumenter GOR Saparua yang legendaris. Venue selalu menjadi pilar penting di dalam ekosistem musik, dan kehadiran GOR Saparua merupakan momentum penting yang mewadahi kelahiran dan perkembangan banyak band keren di Bandung dan sekitarnya. Indonesia secara general sudah kekurangan ruang publik, otomatis venue musik akan selalu jadi isu yang penting.
Tentunya kami mengucapkan terima kasih untuk kawan-kawan yang sudah mau subscribe newsletter kami. Seperti biasa, sebelum lanjut ke segmen rilisan baru, kalau belum berlangganan bisa tuliskan alamat email kamu. Silakan!
RILISAN BARU
Kolektif asal Surabaya Relative Primitive merilis Profani Kuncitara oleh Bow. Dalam keterangannya, dijelaskan bahwa rilisan ini merupakan homage untuk era Rave Party UK di dasawarsa 90’an. Mantap!
Parlemen Pop menggaet putri alm. Yockie Suryo Prayogo - Aya Anjani - untuk membawakan interpretasi lagu YSP, Terbanglah Lepas. Sebuah upaya yang cermat - terasa segar tapi juga tidak berkhianat terhadap identitasnya yang asli .
Single pertama dari EP Gerald Situmorang yang bertajuk “Saga” ini tidak banyak basa-basi. Terpapar nuansa rock yang kentara, lagu Tapak Tilas berbanding lurus terhadap kecerdasan Gerald membangun aransemen yang entah kenapa rumit tapi juga nyaman di telinga.
WAWANCARA
Di hari yang sama kasus Gofar Hilman heboh, selain pernyataan Lawless Jakarta , musisi dan aktivis Kartika Jahja membuat statement yang tegas dan jelas, menanggapi kejadian itu. Dia kenal secara personal dengan Gofar. Berikut wawancaranya.
SFTC: Lo kenal secara personal kan dengan Gofar.
Kartika Jahja (KJ): Gue kenalan pertama kali 2004. I think I was introduced by Paul Agusta dan Bianca pada saat itu. And then ketemu-ketemunya lagi di scene punk, ketika gue bikin acara dulu namanya ‘Arisan Musik’, di Eastern Promise. Gue minta tolong sama beberapa temen-temen untuk jadi bouncer di acara itu. And then after that dia jadi seorang influencer dan lain-lain. Tapi karena gue makin ke sini jarang ke acara, jadi gue nggak intens lah berhubungan sama dia. Tapi gue memantau beberapa konten dia dan kadang-kadang ada beberapa yang problematis.
SFTC: Di postingan lo, lo state bahwa kejadian ini tidak mengagetkan untuk datang dari seorang Gofar. Sejauh apa lo memperhatikan gerak-gerik dia dan apa momentum yang membuat lo berpikir bahwa perilaku dia sudah tidak bisa ditolerir?
KJ: Penting untuk dicatat bahwa kita semua tuh evolve ya, bahwa kita tuh lahir nggak ujug-ujug aware atau woke sama hal-hal kayak gini. Jadi, dulu, pastilah gue complicit—kalau bisa dikatakan juga melakukan maupun mengatakan hal-hal yang sangat seksis ataupun homofobik dan transfobik. Terus, gue juga mendengar jokes-jokes kayak gitu dulu juga tolerate atau ikut ketawa. I think the scene is built in a way on top of that culture, menurut gue. Sehingga kayak banyak orang yang membangun karirnya, terutama MC laki-laki, on being sexist and diskriminatif towards the minorities. Dulu hal itu ditoleransi. Tapi kan semakin ke sini, obrolannya juga berevolusi, jadi kayak hal-hal yang dulu ditolerir itu sekarang nggak oke.
Sementara gue ngeliat Gofar dan beberapa temen-temen gue yang lain itu nggak evolve; terus di situ. Dia stuck di situ dan bahkan mengamplifikasi itu lebih parah lagi karena ternyata dapet platform yang lebih luas. Kalau dulunya cuman di scene doang, tapi sekarang udah lebih luas lagi, bahkan di-encourage, oleh brand dan lain-lain. Dan bahkan temennya dia pun ngomong kalau dia semakin ada skandal, itu semakin gede orderannya. Ini nggak cuma soal Gofar tapi ini adalah mengenai kulturnya content creator ya. Maksudnya, ada market yang besar untuk demografi kayak gini. Bahkan ternyata setelah gue nulis statement itu ada beberapa perempuan, 3, yang ngeDM gue bahwa dia juga mengalami apa yang sekarang kita sebut dengan ‘date rape’ gitu oleh oknum yang sama.
SFTC: Lo bikin statement itu saat volume percakapan soal Gofar di media sosial tinggi banget tapi gak ada yang substansial, kebanyakan hanya komentar saja. I honestly thought you were the first person yang bilang sesuatu yang tegas dan clear, di luar Lawless. Boleh diceritain proses berpikir lo saat itu?
KJ: I talked to a few people, a few women, who know him personally as well. Terus kami jadi ngobrol tentang betapa kami itu tidak tahu gimana harus bersikap ketika pelaku itu adalah teman; mau dekat mau enggak. Few of this women, I know, mereka pasti tahu gimana caranya harus bersikap kalau misalnya ada korban yang dateng ke mereka. Tetapi ketika kami dikasih tau bahwa ada pelecehan dan kekerasan seksual oleh pelaku yang kami kenal, kami tuh kadang-kadang suka kehilangan objektifitas, freeze gitu. Menurut gue, harus lebih banyak percakapan tentang what to do when the perpetrator is someone we know, supaya kita nggak kehilangan objektifitas.
Terus, based on that conversation, gue pikir bahwa penting bagi seseorang yang kenal dengan dia untuk take a stand with the victim. Karena, gue tahu bahwa dia pasti bakalan dipertanyakan keabsahan allegations-nya, gitu.Penting bagi kita untuk mulai belajar gimana harus bersikap ketika pelakunya teman kita.
SFTC: Hal ini merupakan sebuah fenomena sosial yang baru, dan banyak orang masih belajar menavigasikannya. Bagaimana kita bersikap ketika ada orang di sekitar kita yang terkena hal ini?
KJ: I think cancel culture could be a double edged sword, karena menurut gue itu emang lahir dari impunitas, lahir dari betapa banyak korban yang nggak bisa mendapatkan keadilan di sistem yang formal. Karena beberapa grup of people itu emang punya impunitas; nggak bisa diapa-apain oleh sistem sehingga we create the other system of network of solidarity di mana “let’s cancel this person” dan itu adalah satu-satunya keadilan yang bisa diperoleh para korban. Hal itu mudah dipahami dan itu adalah hal yang bagus.
Tapi, hal tersebut juga bisa jadi terlalu sering dijadikan jurus; jadi kartu yang sering dilempar ketika misalnya seseorang punya kesalahan apapun, seperti “cancel this person because they said this wrong thing” atau semacamnya, tanpa memberi peluang orang itu untuk berubah sehingga menurut gue agak ngerinya adalah kalau misalnya cancel culture itu digunakan untuk balas dendam atas konflik personal, atau untuk ke hal-hal yang masih bisa diobrolin atau dikasih ruang untuk bergerak, maka itu akan menghilangkan peluang untuk orang-orang to actually grow from mistakes that they did. So, I think that cancelling is not what I would do, kalau gue sendiri ya. But calling out, itu menurut gue beda.
Kalau lo call out someone, itu pertama lo bisa melakukannya secara personal. Gue melakukan hal itu ke Gofar, beberapa kali secara personal. Kalau itu adalah orang yang lo kenal, lo sebenernya bisa ngeliat bahwa patternnya dia bisa mengarah ke hal yang bisa jadi lebih buruk. And that’s when you call out a person. Tetapi ketika itu memang udah nggak digubris dan lo merasa untuk call out that person secara publik, gue pikir kebanyakan dari kita punya alasan masing-masing untuk melakukannya atau tidak melakukannya; tapi menurut gue kita mulai mesti terbiasa untuk bisa melakukan itu, bisa mulai objektif untuk ngeliat sesuatu meskipun itu temen kita. Tidak semua bisa dan mau untuk melakukan itu termasuk temen-temen dari kalangan aktivis, pejuang human rights, dll.
SFTC: Pas lo call out personally, Gofar tidak ada respon?
KJ: Gue bisa dibilang menyalahkan diri gue sendiri karena terlalu lenient sih, karena gue nggak negur dengan cara yang tegas. Sebab, gue ada ketakutan kalau dianggap sebagai feminis galak. Kayak, semua orang tahu bahwa “Tika adalah feminis, tentu aja dia bakalan ngomong gitu,” sehingga ketika gue ngomong ke temen-temen cowok tentang hal-hal yang nggak gue suka, gue tuh cenderung jadi terlalu permisif: “Eh boleh nggak lo nggak kayak gitu? Sorry ya, bukannya gue galak lho”.
Ya gue pikir gue took the blame in that part when I don’t think I wasn’t being clear enough about my message to him and my other guy friends.
SFTC: Lo bilang bahwa scene ini dibangun di banyak sekali nilai maskulinitas dan patriarki. Jika kita belajar dari kasus Gofar, kalau kita ingin jadi lebih baik, apa hal yang paling penting yang harus kita pelajari?
KJ: Kita bisa mulai dengan berefleksi; gimana kita berperan di dalam ketidakadilan atau opresi tersebut, di dalam komunitas kita dulu deh. Kalau ngomongin soal scene musik misalnya, kalau kita hiring all male crew, misalnya, then we can start with that correcting ourselves. Kalau misalnya kita membiarkan misalnya SFTC gitu nih, nggak punya klausa dan membiarkan misalnya MCnya berperilaku seksis gitu, then you can change that. Gue pikir tiap orang punya power untuk melakukan sesuatu di lingkungan terdekatnya yang akhirnya berdampak ke semuanya, ke mana-mana.
Menariknya, yang pertama nge-like postingan statement gue adalah temen-temen cowok yang gue kenal di kancah, temennya Gofar dan temennya anak-anak Lawless juga. Gue sempet kaget karena tidak tahu bakalan dapat respon seperti itu dari mereka, karena hari gini “like” response berarti “gue setuju”, kayak lo mengamini apa yang gue bilang. Karena itu menarik, pertama ada beberapa yang gue kontak dan bilang terima kasih karena udah ngelike, kayak gue pengen tau apa yang mereka pikirkan.
Ternyata banyak sekali di antara cowok-cowok di lingkaran sosial ini yang udah males banget lama sama omongannya dia dan sikapnya dia terhadap cewek, tetapi diem-diem aja sampe sekarang. In a way, itu semacam complicity; it’s exactly what I did, gue nggak bilang gue lebih baik dari itu karena itulah yang menyebabkan sesuatu bisa sampe sejauh ini. Seandainya pada saat itu ada yang ngomong lebih kenceng, mungkin dari sesama laki-laki, mungkin hasilnya akan beda, gitu.
Yang kedua adalah banyak yang berterimakasih karena gue udah menyuarakan pikiran mereka yang ngelike ini. Itu paling banyak yang gue dapet melalui DM, bukan di komen yang publik. Tapi gue agak ada rasa “kenapa kok gue yang harus menyuarakan?” Kalo lo merasakan hal yang sama, kenapa lo nggak ngomong? Kenapa lo harus nunggu sampe separah ini baru ngomong.
Gue pikir orang Indonesia adalah orang yang non-confrontational. Dan mungkin kita selalu punya rasa sungkan terhadap teman untuk ngomong kalau kita nggak suka sama sikap mereka, gitu. Sehingga banyak orang yang memilih untuk “yaudah deh ngelike pernyataannya Lawless, itu berarti gue udah ngasih sikap dukungan”. Tapi menurut gue akan lebih kuat jika semua orang yang memang punya platform bisa menggunakan platformnya untuk membuat pernyataan karena sikapnya Lawless ini jadi preseden banget nih buat ke depannya kayak gini-gini tuh nggak diterima lagi di komunitas manapun dan konsekuensi nggak kecil. Tetapi, kalau misalnya terus “oiya dia dipecat tapi temennya masih baik-baik aja” ya menurut gue sih percuma.
SFTC: Lo udah ngobrol dengan pihak korban?
KJ: Sudah. Yang aku liat dia punya support system yang kuat, dia didampingi LBH dan Komnas Perempuan dan dia menyatakan siap kalau Gofar pake jalur apapun. Aku pikir dia sangat berani dan punya banyak dukungan dari all the good people. I really admire her strength.
SFTC: Banyak kasus seperti ini di Amerika, di mana pelaku setelah beberapa tahun hilang lalu perlahan-lahan mencoba untuk kembali ke karir mereka (Louis CK, Kevin Spacey, etc). Menurut lo apa situasi yang ideal untuk seseorang kayak Gofar. Apakah dia pantas mendapatkan kesempatan kedua, atau dia seharusnya menghilang saja selamanya, atau gimana?
KJ: Sebelum kita bertanya soal apa yang adil untuk Gofar, sebaiknya kita perlu mempertanyakan soal apa yang adil bagi korbannya dia. I think that a person needs to be held accountable for their actions, baik itu secara hukum maupun sanksi sosial ketika hukum tidak berfungsi semestinya. Menurutku, akuntabilitas itu penting dan itu yang akan ngasih sense of justice untuk korban, tetapi apakah there’s gonna be second chance or not, I would hope that there’ll be change of behaviour dari kejadian ini. Dan if there is, then perlu ada ruang buat perubahannya dia. Tapi apakah itu akan jadi sesuatu yang mau dan akan gue dan orang-orang beli lagi, I don’t know. If it’s me, I won’t buy anything coming from him ever again.
Orang itu juga berproses sih. Kita nggak bisa kayak, “Okay, cancel this person right now!” Titik dan udah. Dan gue juga ngeliat gitu apa yang dilakukan Lawless, di atas kertas mereka secara legal dalam proses untuk memutus dia dari kepemilikan bisnis, tapi secara pertemanan mungkin masih butuh waktu; and we have to give them that space. Kita juga harus paham bahwa bukan hal yang mudah untuk cut someone off from our life. Tapi ada effort untuk make things right itu penting.
CATATAN EDITOR
Tempo hari saya nonton film dokumenter soal bangunan legendaris yang terletak di Bandung, GOR Saparua. Paska nonton, saya tiba-tiba inget 2 hal yang selama ini memang selalu jadi bahan pikiran. Pertama soal dokumentasi dan arsip di kancah musik lokal (khususnya video), kedua soal ruang-ruang atau dalam hal ini adalah venue musik. Dua hal itu bagi saya penting bagi ekosistem kancah lokal.
Ngomongin soal dokumentasi, semangat zaman alias “zeitgeist”, memang selalu jadi hal yang menarik untuk disimak. Apalagi jika hal tersebut direkam dan didokumentasikan secara apik seperti ke dalam sebuah format audio visual utuh. Saya adalah penggemar dokumenter, khususnya rockumentary. Pastinya saya selalu salut jika ada dokumenter yang membahas zeitgeist musik lokal dengan segala keterbatasan footage-nya. Nah, tapi justru itu yang bikin kepikiran.
Sepertinya kendala utama soal pembuatan film dokumenter, khususnya kancah musik lokal era lampau adalah perihal dokumentasinya sendiri. Footage terbatas, pengarsipan yang kurang rapi, dan sebagainya. Padahal, kita punya kancah musik yang kaya dan beragam di tiap zamannya. Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Kedua adalah soal ruang-ruang dan venue musik. Masa kini, sayangnya tidak banyak venue definitif bagi geliat kancah musik berdikari luar arus utama—seperti GOR Saparua dulu—yang masih eksis. Sepertinya bisa dihitung dengan jari, salah satunya adalah Rossi Musik di Jakarta Selatan. Kalaupun yang lain sempat ada, misalnya Spasial di Bandung atau Houtenhand di Malang, semuanya sudah tutup di tengah jalan karena berbagai kendala dan kebijakan. Venue musik selalu datang dan pergi, yang bertahan sedikit sekali. Lalu gimana dong?
Pendapat saya:
Do not take everything what we do and what’s available here now for granted. Kita semua ngambil peran sebenarnya, baik jika kamu pelaku, penikmat, penyelenggara acara, hingga pengelola venue, misalnya.
Soal dokumentasi sebaiknya para dokumentator; baik fotografer sampai videografer, menyimpan arsip dokumentasi mereka dengan sebaik-sebaiknya. Saya yakin suatu saat footage-footage tersebut akan berguna. Bagi para musisi dan penyelenggara, mulailah sering memotret dan merekam video apapun yang kalian lakukan. Lagi-lagi dokumentasi adalah hal yang penting. Sebenarnya saya nggak terlalu khawatir di masa kini mengingat kesadaran dan melek teknologi di generasi ini, tapi apakah mau konsisten?
Buat venue, kerjasama yang sehat antar grup musik, penyelenggara, pengunjung, dan pengelola bisa jadi penting untuk keberlangsungan venue. Saling merawat dan menjaga, bayar tiket, support satu sama lain, nggak menganggap venue itu sebagai “hanya tempat”, berkomunikasi dan berjejaring satu sama lain soal apa yang bisa dilakukan untuk melestarikan venue tersebut, bagaimana supaya bisa makin menjadi safe space bagi siapapun, jadi lebih mumpuni secara fasilitas, dan sebagainya. Jika semuanya saling melakukan hal tersebut sesuai perannya masing-masing, saya rasa sih nggak perlu khawatir soal bagaimana ekosistem venue musik di sini akan jalan terus.
Karena kalau bukan kita, ya siapa lagi yang harus melakukan hal-hal itu supaya semua yang sudah dan sedang berlangsung terus berlangsung?
(Yogha Prasiddhamukti)
Terima kasih sudah membaca! Jangan lupa subscribe newsletter SFTC di sini, masukkan alamat email kamu: