Keren juga ya, Abdee Slank bisa jadi komisaris Telkom. Agak aneh membayangkan gitaris dari grup Rock legendaris yang konon paling ber”attitude”, paling slengean, tiba-tiba dapat kursi jabatan bergengsi di perusahaan BUMN. Nggak tahu juga mesti bingung atau salut. 🤷🏻♂️
Hal lain yang bikin bingung adalah menonton video penjelasan Jarwo NAIF selepas heboh-heboh kabar bahwa mereka bubar. Ternyata kalau menurut pandangan dia, masih ada hal-hal tersisa yang belum diselesaikan. Nampaknya juga keputusan bubar belum disetujui oleh dirinya. Saya tumbuh mendengarkan NAIF, jadi kisruh-kisruh yang disayangkan ini bikin jadi lumayan kepikiran. NAIF jangan bubar dong plis.
Anyways, selamat datang di edisi 1 Noises From The Corner. Ini project newsletter-nya SFTC. Tayang mingguan setiap hari Selasa, mampir ke inbox email kamu. Di bawah ini adalah segmen pertama dari tiga segmen yang ada. Kalau belum berlangganan, silakan masukkan alamat email kamu sebelum lanjut:
RILISAN BARU
Modern Romance Dreaming (Lonely) - Elephant Kind
Synth-nya langsung mencuri perhatian pertama kali mendengarkan. Lagu menghentak yang bercerita tentang kesepian. Pas buat joget sendirian pas rumah lagi kosong sebelum mandi, sok happy tapi sebenarnya mellow. Single baru yang kuat.
Sukar - Swellow
EP-nya yang bertajuk Karet tersedia lengkap di Bandcamp. Yang kayak gini-gini lumayan weak spot nih - maklumlah, anak indis. ‘Sukar’ ideal untuk bernostalgia, liriknya sederhana, dan tepat guna. Pengen nyetir mobil hari Minggu jam 4 sore sama gebetan.
Glyph Talk - Objection
Dua bar pertama post-punk gitu langsung suka. Terus tahap berikutnya lebih intrigued untuk menyimak karena Objection! punya adonan istimewa yang diperhitungkan dengan effortless namun seksama. Satu menit empat puluh delapan detik yang tidak terbuang sia-sia.
WAWANCARA
Sarah Deshita menyisihkan waktu di tengah-tengah siangnya untuk mengobrol ringan seputar industri pertunjukkan musik.
SFTC: Sebagai seseorang yang secara profesional berkecimpung di dunia pertunjukkan musik, bagaimana sudut pandang lo melihat kondisi ke depan industri pertunjukkan musik?
Sarah Deshita (SD): Industri ini kan yang paling awal kena dampak nggak bisa ngapain-ngapain dan kalaupun kembali, industri itu akan jadi yang paling terakhir. Untungnya di Indonesia, kita punya banyak risk-taker.
I’m not the one of those risk-takers. Tapi bagus bahwa mereka mau untuk improvisasi dan modifikasi banyak cara. Semua sedang dalam survival mode. Coba liat aja, di akhir 2020 kemarin sudah ada yang bikin semacam drive-in yang pake protokol. Ada juga yang tipenya masih lihat dan tunggu, “lo duluan deh yang bikin, nanti gue liat dan modif cara lo”, ibaratnya. Ada juga yang kayak emang rencanainnya sudah untuk tahun 2022, misalnya.
Cuma memang menurut gue, live event berskala besar tahun ini belum bisa dilakukan. Skala besar itu, menurut kacamata gue ya yang di atas 3000 orang, untuk sekarang. Walaupun dulu kayaknya itu adalah kapasitas konser kayak di Tennis Indoor (Senayan), tapi sekarang kayaknya bikin yang 100 dan 500 itu udah dianggap ribet. Gue cukup ragu bakalan ada festival gede tahun ini. Kalo misalkan pun ada, kayaknya brand-brand belum tentu berani jadi sponsor; terlalu banyak yang harus dilalui selama prosesnya, the politics and stuff.
SFTC: Setelah kondisi semua ini semakin membaik, apa yang akan berganti secara permanen?
SD: Waktu gue kemarin ditanyain soal kemungkinan WTF dan DWP offline di tahun depan, setelah sempat online, gue mikir bakalan lebih fun kalau bisa melakukan dua-duanya. Nggak semua orang dari seluruh penjuru dunia bisa datang ke WTF dan bakalan seru kalau kita bisa menyajikan itu ke rumah mereka.
Gue percaya banget bakalan banyak bermunculan yang baru-baru. Ketika sudah bisa offline nanti, dan kalau ditanya apakah gue mau bikin offline, ya menurut gue justru mendingan sekarang bikin dua-duanya aja, online dan offline. Ketika kemarin kita sudah bisa ngadain yang online, dan sudah tau caranya, ya ke depannya kenapa nggak bikin online juga lagi; dengan waktu yang berbeda misalnya.
Gue juga merasakan bahwa orang-orang lama di industri ini mau nggak mau juga menyesuaikan diri untuk melakukan banyak hal baru juga. Gue jadi melihat banyak orang-orang baru, yang tadinya gue nggak pernah liat itu, kayak “wah oke juga lo!”.
CATATAN EDITOR
Saya suka Morrissey dan The Smiths. Namun di sisi lain saya tahu bahwa belakangan ini Moz sering mengeluarkan statement seputar isu sosial yang berlawanan dengan sudut pandang personal saya. Pandangannya terhadap isu Brexit, dukungannya terhadap perilaku-perilaku rasis, membuat saya mengevaluasi kecintaan saya terhadapnya.
Setiap kali mendengarkan Morrissey lagi, saya jadi berpikir - etiskah saya mengidolakan karya seseorang yang terbilang rasis?
Di era ini, bagaimana idealnya menavigasi kecintaan kita terhadap karya musik seseorang ketika individu tersebut tidak lagi selaras dengan cara pandang kita? Bagaimana cara memisahkan citra personal musisi, dengan karya musik yang diciptakannya?
Pertanyaan sederhananya: Kalau musisi idola kamu kena cancel oleh warganet, bagaimana sikap kamu?
Cancel Culture tidak hanya berkutat di Amerika dan Eropa. Di Indonesia, kasus-kasus yang berkaitan dengan #MeToo dan isu serupa juga banyak merebak di kiri kanan. Tidak jarang melibatkan orang-orang yang saya kenal secara pribadi. Yang model ini tentunya lebih menyeramkan.
Pendapat saya:
Sebisa mungkin semua orang (termasuk audiens) harus bisa mengedukasi diri mereka sendiri dengan iklim kultur dan lanskap sosial budaya yang relevan, termasuk pergeseran-pergeseran nilai apresiasi karya, dan hubungannya dengan nilai personal sang pembuat karya. Artinya: Jika kamu benci rasisme, stop mendengarkan Morrissey, bahkan jika kamu mengidolakannya. Simpel.
Sulit? Pasti. Apakah penting dan worth the effort? Sangat. Mari kita belajar bersama.
Langganan Noises From The Corner GRATIS Sekarang, masukkan alamat email kamu: