#7 Bensin menipis?
Kalau ternyata sekarang harus pivot sementara dari musik, ya nggak apa-apa banget sebenarnya
Bosen juga ya dikit-dikit bahas pandemi, tapi industri musik jadi lahan industri yang lumpuh di Indonesia dan kayaknya masih panjang musim paceklik ini akan terjadi. Infrastruktur bisnis musik tersendat, semua orang memasuki survival mode. Bensin untuk terus mendorong diri sendiri pelan-pelan menipis. Mesti ngapain lagi nih?
Secara general, rasanya agak aneh kalau pandemi ini tidak mempengaruhi cara kita memandang prioritas. Mau dari lapisan ekonomi apapun, fase ini pasti bikin kita melakukan evaluasi terhadap banyak hal - termasuk fokus utama hidup kita. Tentunya, semua musisi dan praktisi musik ada di fase yang berbeda di hidup mereka. Ada yang baru lulus kuliah dan rilis album pertama, ada yang panik karena harus menghidupi tiga anak balita, ada juga yang sok-sok stress tapi sebenarnya aman karena dilindungi duit orang tua. Ya, semuanya punya definisi struggle masing-masing, dan melalui tulisan ini, kami tidak ingin menghakimi siapapun.
Yang pasti, kami salut banget sama semua kawan-kawan musisi yang terus gigih merilis karya, membuat project-project baru dan melakukan inisiatif-inisiatif keren di masa ini. Sampai sekarang SFTC setiap harinya masih menerima email, DM dan pesan dari musisi se-Indonesia yang ingin mempromosikan karyanya. Terima kasih!
Di saat yang sama, menurut kami ya wajar juga kalau ingin melipir dulu dari sirkuit ini dan fokus sama prioritas lain yang lebih penting. Definisi penting itu bervariasi, dan di era Covid ini bisa tentang hidup dan mati. Masalahnya, kemampuan musik memberikan penghidupan di negara ini itu situasinya jauh lebih kompleks dari sekadar merilis karya. Banyak banget pilar yang masih mandeg tidak bergerak. Industri pertunjukkan offline masih lumpuh sampai hari ini, padahal ada banyak sekali pekerja musik - dari kru band, produksi, event organizer yang bergantung kepadanya.
Di antara pegiat industri, pandemi juga menjadi pemicu untuk membangun kesadaran untuk mandiri dan bahu membahu yang lebih kuat sebelumnya. Kalau dipikir-pikir, musisi cuma jadi satu aspek “kecil” dari roda ekosistem musik di Indonesia yang melibatkan belasan expertise dan puluhan peran penting.
Asosiasi Pekerja Industri Pertunjukan atau disingkat API Pertunjukan adalah buah dari kesadaran bahwa industri ini harus didukung oleh pegiatnya sendiri, dari dalam dan oleh para praktisinya langsung.
Jangan patah semangat! Tapi kalau ingin pivot sedikit di fase ini, ya gapapa juga. Don’t be too hard to yourselves. Bisa jadi pindah haluan ini malah bikin tangki bensin kita penuh lagi untuk menyiapkan diri beraksi saat pandemi sudah mereda. Kami juga sadar, bahkan tidak semua orang punya kemewahan untuk pivot - ada banyak malahan yang menjadikan musik jadi satu-satunya sumber penghidupan. Apapun langkah kamu selanjutnya, kami doakan agar mendapatkan hasil terbaik!
Langganan newsletter ini dengan memasukkan alamat email kamu di bawah:
RILISAN BARU
Dibuka dengan intro yang cukup somber, lagu milik solois J. Alfredo ini sepertinya memang penuh intensi sentimentil. Dengan penulisan lagu dan musik yang cukup matang, Romantic Echoes berhasil membalut lagu pop ini dengan groove psikedelia dan sedikit pengaruh electronica yang pas. Sulit untuk nggak ngebayangin semua hal di sekeliling jadi bergerak dalam fitur slow motion ketika khusyuk ngedengerin lagu ini.
Makin ke sini, Gizpel sepertinya menyingkirkan gitar mereka dan ngasih tempat buat synthesizer untuk jadi instrumen utama dalam musik mereka. Dan itu terdengar berhasil di “Glides”. Eksplorasi mereka di sini cukup bold; disisi lain, lagu ini jadi punya rasa lebih “dingin” dari karya-karya Gizpel sebelumnya. Single synth-pop/new wave ini sukses bikin kami penasaran soal apa yang bakalan dibikin sama mereka selanjutnya.
Trek kedua dari album perdana milik grup slonong boy asal Bandung ini semacam gado-gado garage surf ‘n roll dan hard rockin’ punk rock. Apa adanya, enerjik, dan sukses bikin kami kangen buat jejingkrakan di gigs yang berlangsung dalam bar-bar sempit yang nyaris bangkrut karena pengunjungnya selalu beli alkohol murah di luar atau venue-venue tanpa panggung tinggi dengan kualitas peralatan seadanya.
Lagu ini bisa dibilang kayak sapuan gelombang yang bikin kalian terseret di dalamnya pada pendengaran pertama. Heavy, atmosferik, serta padat distorsi tebal dan riff raksasa. Di sisi lain, suara milik Angeeta Sentana (vokalis/gitaris Grrrl Gang) mampu membuat lagu ini terdengar melodious; suaranya seperti lantunan elegi yang menyentuh right on the spot. Semuanya jadi makin solid dengan iringan melodi gitar yang menghipnotis. Cobain deh, naikin volume suaranya ketika nyetel lagu ini.
WAWANCARA
Bagi kami, Bagirata adalah salah satu nama yang menarik eksistensinya selama pandemi Covid-19 yang sudah berlangsung setahun lebih ini. Diinisiasi oleh 5 orang, entitas non-profit ini jadi platform yang sangat solutif bagi banyak orang yang kehilangan penghasilan selama pandemi. Konsepnya sederhana, Bagirata jadi sarana subsidi silang antar warga untuk membantu satu sama lain dengan cara redistribusi penghasilan. Sejauh ini, banyak banget yang sudah membantu dan dibantu lewat platform ini. Inisiatif ini tentu saja patut diapresiasi, apalagi melihat fakta pemerintah kita yang kebijakan-kebijakan absurdnya nggak bisa diharapkan. Tempo hari kami ngobrol sama salah satu pentolan dibalik Bagirata, Lody Andrian, buat tahu lebih lanjut soal platform ini.
Apa alasan utama yang bikin lo akhirnya tergerak untuk bikin Bagirata?
Alasan utamanya karena fakta bahwa satu-satunya cara menurunkan angka penularan covid, itu dengan lockdown. Namun, menurut gue itu nggak adil kalau dengan lockdown banyak orang yang nggak bisa kerja dan terpaksa nggak digaji. Sementara banyak orang yang masih bisa kerja di rumah, masih digaji, atau malah makin makmur gara-gara menghemat duit transport dll. Diskusi di media sosial tentang kesehatan vs ekonomi pun jadi kontra-produktif menurut gue. Terlebih lagi pemerintah dan sektor bisnis gagal melindungi kesejahteraan pekerjanya, kayak lepas tangan aja gitu. Jutaan pekerja otomatis luntang-lantung, temen-temen gue di sekitar juga banyak yang kena dampaknya, dan mereka nggak punya jaring pengaman lagi, kecuali tabungan. Tapi tahu sendiri sangat jarang orang yang nabung. Jadinya gue kepikiran gimana kalo orang-orang yang masih bergaji, itu semacam ngasih “tunjangan” buat orang yang terpaksa dirumahkan tanpa gaji. Jadi sistemnya subsidi silang, bukan sumbangan. Jadilah Bagirata.
Sejauh ini, apakah lo melihat Bagirata sudah berjalan sesuai apa yang lo mau?
Menurut gue udah. Mungkin karena dari awal gue nggak punya ekspektasi tinggi, dibuatnya aja cuma 2 minggu dan langsung rilis di tengah Maret 2020. Dan gue pikir karena sistem subsidi silang itu baru, apalagi model peer-to-peer kayak Bagirata yang nggak nampung uang tapi ngirim sendiri, jadi gue nggak berharap banyak orang langsung ngerti juga. Karena di kami cenderung lebih terbiasa dengan sumbangan yang model “si kaya dan si miskin”, “superior dan inferior”, bukan ngebantu secara horizontal. Tapi ternyata sejak awal diluncurkan ke publik tahun lalu, arus distribusi dananya cukup deras. Sampai sekarang udah Rp 1.099.596.673 dan udah 2.890 pekerja yang mendapatkan dana bantuan. Apalagi Bagirata jadi sumber bantuan buat pekerja-pekerja informal yang nggak punya BPJS Ketenagakerjaan (yang udah nggak mungkin dapet BLT pemerintah), jadi menurut gue udah sangat sesuai.
Apa kendala yang lo hadapi selama setahun belakangan? Dari teknis maupun hal-hal tak terduga lainnya.
Kendala utama sekaligus tantangannya sih nyeimbangin supply (pengirim dana) dan demand (penerima dana). Pekerja yang butuh bantuan itu banyak banget. Dalam satu hari aja kalau kami buka pendaftaran ada 1.000-an orang yang langsung daftar. Walaupun pengirim dananya juga banyak, tapi masih kalah jumlah. Jadi kami mesti dorong kampanye terus dari sisi untuk orang yang mau bantu. Setelah arus bantuannya seimbang, baru kami berani buka lagi. Makanya sekarang kami ada program Bagihasil juga, di mana kami ngajak masyarakat yang punya usaha, jualan produk atau jasa, membagi pendapatannya ke Bagirata untuk menopang hidup pekerja yang terdampak. Dan ada program diaspora, dimana ngajak temen temen yang di luar negeri untuk jadi fundraiser di negaranya masing-masing buat kemudian didistribusiin via Bagirata. Sekarang udah ada di beberapa negara sih; di Australia, AS, Belanda, Kanada sama Singapura. Dari dua program itu cukup ngasih dampak yang signifikan buat mempercepat arus dana bantuan.
Bagaimana caranya kalau ada yang mau membantu jadi pendonor?
Caranya masuk ke situs bagirata.id terus nanti akan ditampilkan daftar pekerja yang butuh bantuan; disitu ada cerita tentang situasi mereka, kebutuhan dana mereka dan media sosialnya juga. Setelah pilih salah satu, tinggal screenshot QR code e-wallet mereka yang tertera, terus tekan Kirim. Nanti Bagirata akan nge-redirect ke Gopay/Jenius/Dana. Dari situ tinggal upload QR dan kirim duit seperti biasa, tapi dengan cantumin note “bagirata” supaya bisa terlacak sama si penerima dananya. Setelah selesai balik lagi ke situs Bagirata untuk konfirmasi lalu selesai. Caranya terhitung singkat banget, bahkan Bagirata nggak minta log in atau buat akun.
Apakah ada cerita menarik selama Bagirata berjalan, dari sisi penerima bantuan?
Yang menarik adalah hampir semua penerima dana itu kaget setiap dapet bantuan. Karena metode Bagirata peer-to-peer jadi penerima bantuan nggak pernah tau kapan, dari siapa dan berapa dia akan mendapat bantuan, karena sangat tergantung si pengirim dana. Jadi setelah ia lolos verifikasi, literally dia akan dapet “duit kaget”; tiba-tiba dapet 1 juta, besok bisa dapet 20 ribu, besoknya 100 ribu, dan seterusnya sampai kebutuhan dana minimumnya tercapai. Dikirimin uang dari orang asing secara tiba-tiba adalah interaksi sosial yang nggak umum, hampir nggak pernah dialami dan hampir utopis. Apalagi di momen-momen rentan di mana mereka sedang nggak punya pendapatan sama sekali. Jadi ketika mereka melapor dana masuk ke kami itu dengan emosi yang tidak menentu, bahkan sampai ada yang nelpon gue, padahal bukan gue yang kirim dana bantuannya. Selalu berkesan buat gue kalau mereka bilang dana tersebut dateng di waktu yang tepat ketika situasi genting; buat berobat, membeli susu anak, bayar sekolah adiknya, dll. Dan mereka mampu memenuhi kebutuhan genting itu atas bantuan orang asing yang tidak pernah ia kenal sebelumnya.
Sepertinya selama perjalanannya setahun lebih, Bagirata berkolaborasi dengan beberapa pihak lain ya? Bisa diceritain sama siapa saja dan bagaimana bentuknya?
Cukup banyak sih, dari akhir tahun lalu kita berkolaborasi dengan Boston University buat melakukan research tentang perilaku altruisme warga di platform subsidi silang. Dari program Bagihasil kami juga berkolaborasi sama Herbana, SUKU Home, Whiteboard Journal, Casual Fan Club dan masih banyak lagi pelaku usaha kecil dan menengah yang turut ikutan menggalang dana dengan caranya masing masing untuk didistribusikan di Bagirata. Tahun lalu kita juga berkolaborasi sama 100 ilustrator untuk memvisualisasikan 100 cerita penerima dana di Bagirata supaya lebih banyak orang yang berempati dan bisa mengakselerasi bantuan ke penerima dana tersebut.
Menurut lo sebagai insiator platform subsidi silang ini, sebenarnya cara-cara apa saja sih yang efektif sekaligus solutif, selain Bagirata, misalnya, untuk membantu satu sama lain di era seperti ini?
Cara yang efektif di situasi gini itu cara yang sporadis. Yang masif, yang berarti upaya yang diinisiasi sama setiap individu, bukan di level lembaga, instansi atau organisasi. Karena tiap orang pasti punya privilege, punya keahliannya, punya perannya masing-masing di masyarakat. Bahkan jika kita cuma punya Instagram dan paket internet doang, kita bisa gunain itu buat bantu orang; misalnya bikinin akun instagram buat tukang bakso langganan yang kehilangan lapak gegara kena usir satpol pp, atau bikin akun yang fokus mengamplifikasi kebutuhan-kebutuhan orang sakit di komplek rumahnya. Walaupun itu terdengar sepele, tapi gerakan kecil kayak gitu biasanya menular. Apalagi kalau kita punya komunitas, punya band, punya kendaraan, punya duit? Di situasi ini, kita nggak punya waktu untuk nungguin orang kaya buat bantu, atau berharap penuh sama sistem bantuan pemerintah yang responsif. Karena yang udah-udah antara bantuan itu dipolitisasi atau dikorupsi.
Apa rencana lo bagi Bagirata selanjutnya; apa yang pengen dilakuin tapi belum sempat?
Rencana terdekat kami mau tambah opsi pengiriman dana dan mau bikin fitur untuk verifikasi sosial. Supaya siapapun pengguna yang masuk ke Bagirata, baik itu mengirim dana atau tidak, bisa membantu kami memverifikasi kesesuaian kriteria penerima dana. Jika penerima tersebut mendapat konsensus 5 orang yang menyatakan tidak sesuai, penerima dana itu otomatis akan keluar dari sistem Bagirata. Ini strategi kami untuk bisa mempercepat proses efisiensi verifikasi (kalau sekarang tim internal kami yang verifikasi satu per satu) dan akurasi sehingga bisa menampung lebih banyak orang yang butuh bantuan.