#4 Jangan Aneh-aneh Dulu
Wawancara band Shoegaze berstatus mitos, project The Store Front dan update perkabaran musik lokal
COVID-19 lagi serem-seremnya di Indonesia, semoga kalian dan orang-orang di sekitar semua selalu diberikan kesehatan dan keselamatan (amin amin).
Dua minggu terakhir banyak kabar-kabar duka berseliweran di linimasa, termasuk yang datang dari komunitas musik. Steven “Tepeng” Nugraha Kaligis dari grup Reggae Steven & Coconuttreez, Temi pemain bass Fable. Terpantau dari media sosial, Ayah dari musisi Jugo Djarot juga berpulang. Ex gitaris GIGI Baron juga pagi ini dikabarkan meninggal.
Tentunya kalian sudah bisa melihat bahwa kondisi kiri-kanan sedang tidak baik-baik saja. Semoga kondisi ini bisa cepat berlalu dan keadaan kita berangsur membaik (amin amin).
Di samping itu, beberapa kabar lain yang patut disimak:
Bulan Agustus 2022, trio metal asal Garut Voice of Baceprot akan terbang ke Jerman untuk tampil di Wacken Open air festival. Slipknot, Judas Priest, Limp Bizkit dan Lacuna Coil juga akan main di festival yang sama. Cakep.
Tanggal 20 Juni dalam rangka project Eastern Margins “Respect Your Elders”, Boiler Room menyiarkan beberapa penampilan, termasuk paket kombo maut - bising berfaedah - lintas generasi - BAPAK dan Eka Annash.
Upaya-upaya lintas generasi ini memang nggak ada habisnya sejak hampir 10 tahun lalu. Di tanggal 19 Juni kemarin juga terjadi antara Kunto Aji dan Jamrud, juga Pamungkas dan DEWA 19. Dua pasang penampilan ini merupakan bagian dari acara “Virtual Music Celebration”.
BTW si Dewa 19 kenapa sekarang desain-desain visualnya jelek banget dah. Kayak udah nggak peduli gitu. Atau sengaja biar dikomentarin?
Kawan-kawan yang baru pertama membaca ini dan belum berlangganan, isi alamat email di bawah ini ya, gratis!
RILISAN BARU
Duo penyair Surabaya Silampukau kembali ke sirkuit bersenjatakan single baru “Dendang Sangsi” yang kental dengan nuansa dangdut dan orkes. Musik yang merakyat dan rendah hati, tapi lirik bertenaga otokritik; “Pembenaran terus-menerus disemburkan dari dubur kekuasaan. Menghancurkan kewarasan. Berdengung mengacau ingatan atas kenyataan.”
Hara menulis EP Kenduri dari dan untuk kebunnya. Informasi ini membuat setiap penggal lirik yang dijabarkan punya sensasi berbeda dari balada Indonesia lainnya yang sudah berserakan di mana-mana. Hubungan antar mahluk hidup yang tidak terbatas pada manusia, membuka pintu emosi, dan pintu apresiasi yang baru. “Kuserahkan semuanya di sana,” ulang Rara Sekar di “Arumdalu”, lagu favorit pilihan kami.
Ada dua hal dari “Suntikan Pembunuh Bingung” dari Sickstudio Clan yang menurut kami keren: pertama, flow berbahasa Indonesia yang rapi, jelas dan maknanya jernih. Yang kedua, beat old-skool yang bikin teringat sama pasukan-pasukan rap Indonesia 90-an. Gampang banget track-track semacam ini terdengar pretensius, tapi efek Suntikan Pembunuh Bingung malah sebaliknya: terasa genuine.
WAWANCARA
Bayangin udah bikin 60 lagu terus hard disk rusak gak bisa di-restore?!
Setelah kiprahnya di awal 2000-an meninggalkan kesan istimewa di hati banyak orang (termasuk saya), Sugarstar tidak pernah mewariskan secara resmi album penuh untuk bisa dinikmati. Hanya beberapa jejak-jejak digital, cerita tongkrongan, sedikit foto-foto dan memori Shoegaze lokal yang misterius. Beberapa pegiat musik Indonesia berhasil menyimpan data-data lagunya dalam format MP3, berceceran di jagat digital.
Nama Sugarstar tidak jarang mampir di tengah-tengah bahasan soal dinamika musik awal 2000-an, dengan mudahnya mereka sukses masuk kategori “Band Mitos”.
Berikut obrolan dengan Merdi, Sulung dan Iyub:
Sounds From the Corner (SFTC): Udah bukan rahasia kalian terpesona dan terpengaruh oleh My Bloody Valentine. Se-ngulik apa sih dulu?
Iyub (I): Ada masanya gue sampai pakai 10 efek pedal supaya dapet sound kayak mereka, pas lihat interview Kevin Shields, ternyata dia cuma pakai efek vokal Yamaha SPX90, terus dipakein preset reverse reverb terus langsung jadi, hahaha. Gue pertama kali dengerin Loveless kaget banget dikirain ini CD soak, ternyata emang soundnya begitu.
Sulung (S): Saking kita infatuated sama Loveless, gue bahkan sering bercanda ke anak-anak, nanti pas gue mati kubur gue sama vinyl Loveless aja sekalian. Di masa itu gue dan Iyub sampai rekaman Live dan mixernya kita modulasi secara real time untuk dapetin panning effect yang organik.
(I): Sulung pulang dari Amerika bawa guitar effect banyak banget, sebagian besar eksperimen ngulik kita di masa itu datang dari efek-efeknya dia. Kita baca-baca majalah dan nyari terus sampai ketemu sound yang ideal.
SFTC: Ceritain dong pengalaman per-skenaan awal 2000-an kalian
(S): Cerita Merdi unik banget, karena di momen itu sebenarnya dia tidak bisa baca tangga nada, hanya mengerti posisi suara dari fret bass yang ada, jadi pada saat itu Merdi semacam membentuk sistem main musik ala dia sendiri untuk bisa perform sama Sugarstar. Menurut gue itu langkah yang brilian banget.
Merdi (M): Dulu pernah ada event di Kemang Sugarstar manggung, lampunya dimatiin dan gelap gitu. Karena gue kalau main bass harus lihat fret, gue sempet lumayan panik tuh karena takut gak bisa main.
Kita ada di tengah-tengah invasi band-band genre lain yang main juga di event yang sama seperti Killed By Butterfly, Seringai, Straight Answers. Sebenarnya saat itu band lain yang mungkin ada di koridor yang sama kayak Sugarstar ada The Milo. Selain itu, kita juga sempat masuk ke sirkuit pensi, kompilasi zine lokal dan beberapa gig Ibukota lainnya.
Rilisan lengkap Sugarstar bisa diakses secara eksklusif di JOOX.
CATATAN EDITOR
Buat saya, pertanyaan besar yang selalu bersemayam di tengah-tengah masa pandemi seputar musik Indonesia adalah: Bagaimana cara kongkrit bagi musisi untuk bertahan hidup ketika mereka tidak bisa manggung? Apa yang bisa dilakukan fans, pendengar dan konsumen untuk mendukung mereka di fase ini?
Bahasan seputar royalti sudah tidak usah diulang lah ya, sudah jelas duduk permasalahannya bahwa ada banyak layer dan pihak-pihak yang harus terhubung dan punya visi yang sama untuk memastikan bahwa distribusi pemasukan dari royalti ini bisa berjalan dengan mulus dan efisien.
Sejak tahun lalu melalu project The Store Front, kolektif musik Noisewhore memfokuskan diri untuk membuat sistem rilisan musik yang berfokus kepada penghasilan kongkrit untuk musisi. Tidak hanya itu, mereka juga memberikan laporan langsung penjualan yang diterima setiap periode, dalam rangka mengedepankan transparansi kepada orang-orang yang terlibat di dalamnya.
Inisiatif dan komitmen ini bukan tanpa alasan yang jelas. Terbatasnya ruang gerak artis di masa pandemi membuat kondisi pemasukan musisi yang tidak adil semakin tersaturasi. Platform raksasa seperti Spotify terbukti belum bisa memberikan impact nyata, meanwhile profit mereka semakin masif di era pandemi, hal yang sama tidak bergulir merata ke artis-artis yang menggunakan servis mereka.
Walaupun dalam skala operasi yang lebih kecil, inisiatif Noisewhore melalui Store Front, memberikan impact yang jauh lebih nyata. Mix-a-tape, project menyenangkan yang merupakan ekstensi dari Store Front juga seru: Membuat mixtape kaset dengan cara memilih lagu dari rilisan2 yang ada di Store Front, dan sang artis juga akan mendapatkan keuntungan dari setiap lagu yang terpilih. Konsep DIY yang menyenangkan.
Saran saya, jika kamu benar-benar ingin memberikan dukungan kongkrit kepada musisi yang kamu cintai, The Store Front adalah destinasi yang tepat untuk kamu datangi.
Terima kasih sudah membaca. Langganan gratis newsletter mingguan dengan isi email kamu di bawah ini: